Jl. K.H. Wahid Hasyim Kauman Gg.II No.12 Telp. (0285)426043 Pekalongan Timur 51127
Home » » PERINGATAN ISRO MI'RAJ

PERINGATAN ISRO MI'RAJ

Written By Unknown on Thursday 27 June 2013 | 21:12

               






     Sebagaimana umat muslim di berbagai belahan dunia yang mensyukuri peristiwa Isra dan Miraj Nabi Muhammad SAW. Siswa -siswi SD.Islam Kauman juga menggelar acara peringatan ini dengan penuh khidmat.
                    di awali dengan do'a wirdus shobah kemudian tilawah dengan qori Zulfan Haidar Haq dan yang baru meraih juara ke dua dalam Musabaqoh Tilawati Qur'an (MTQ) se-Kecamatan pekalongan timur.
 
                 Kegiatan PHBI ( Peringatan Hari Besar Islam ) ini Alhamdulillah bisa terlaksana tiap tahun. pada peringatan isro miraj kali ini ada beberapa pesan yang bisa guru sampaikan kepada siswa tentang beberapa hikmah yang bisa kita petik.
bagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS al-Najm [53]: 18).
                    Tanda-tanda yang dilihat Rasulullah disebut sebagai tanda-tanda paling besar yang tidak ada seorang pun selain Rasulullah mampu melihatnya, dan Rasulullah tidak akan mampu melihat ayat-ayat tersebut jika Allah tidak menghendaki dia bisa melihatnya.Maha besar Allah dengan segala ciptaan-Nya hingga Dia memperjalankan Muhammad dalam isra’ dan mi’raj yang tidak mungkin dilakukan oleh setiap makhluk-Nya tanpa kehendaknya.

            Terkait dengan hikmah isra’ dan mi’raj, Mutawalli al-Sya’rawi menyatakan, “Sesungguhnya nilai yang esensial dari hikmah isra’ dan mi’raj secara global mengandung tiga dimensi yaitu pertama, Allah hendak menunjukkan kepada Rasulullah sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya yang paling besar. Kedua, Untuk membuktikan akan kebesaran-Nya kepada Muhammad, agar beliau tetap kokoh melaksanakan tugas kenabiannya. Ketiga, Untuk menerima tugas yang paling mulia dalam ritus ibadah dan ubudiyah seseorang muslim yang berupa perintah shalat lima waktu, di mana merupakan media yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

                 Isra’ dan mi’raj merupakan perjalanan spiritual yang paling istimewa bagi Nabi Muhammad s.a.w Puncaknya terjadi di Sidrat al-Muntaha. Seorang ulama tafsir terkemuka, Muhammad As’ad menafsirkan Sidrat al-Muntaha dengan lote-tree farthest limit atau pohon lotus yang batasnya paling jauh. Pohon Lotus dalam tradisi Mesir kuno merupakan simbol kearifan, kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagiaan. Dalam Hindu, lotus atau bunga teratai merupakan simbol pemurnian. Ajaran Budha menegaskan bahwa proses mekarnya bunga teratai merupakan lambang pencapaian kesempurnaan menuju nirwana. Kuncupnya melambangkan awal usaha dan puncak mekar bunga menjadi tanda tercapainya kesempurnaan. Dengan demikian secara simbolik Sidrat al-Muntaha dapat diartikan sebagai puncak kebahagiaan dan kebijaksanaan. Dengan isra mi’raj, Nabi telah melakukan terobosan spiritual, sehingga surga dan pencerahan hidup dicapainya hanya dalam satu malam. Dimana Siddharta Gautama pernah mencapainya dalam waktu enam tahun. Dengan hati dan pikiran yang jernih, Nabi s.a.w. menyaksikan kebenaran dan kebesaran ayat-ayat Tuhan dalam satu malam. Dan, itulah yang hendak diteladankan beliau kepada umatnya.

Nilai-Nilai Filosofis Isra’ dan Mi’raj dalam Kehidupan

              Nilai-nilai filosofis dari peristiwa isra dan mi’raj yang dapat kita ambil adalah sebagaimana yang ditulis oleh Abu Majdi Haraki, dia mengutip tulisannya Naser Muhammad ‘Athiyah, dia menyatakan, “Tidak bisa dipungkiri bahwa nilai yang terpenting dari perjalanan agung ini adalah mencakup nilai-nilai edukatif dan pembelajaran jiwa bagi diri Rasulullah Muhammad s.a.w. sehingga beliau benar-benar memiliki kesiapan mental dalam menghadapi segala bentuk penghinaan yang diterimanya dari orang-orang kafir dan musuh Islam dalam menjalankan tugas kenabiannya. Dengan pembelajran jiwa yang terkandung dalam isra’ dan mi’raj tersebut, Rasulullah bisa berdiri kokoh setegak gunung, yang tidak mampu digoyahkan oleh usaha provokasi, ancaman, cercaan, tipu daya, maupun makar dari  orang-orang kafir, sehingga Rasulullah bisa menjalankan tugas kenabiannya yang istiqomah. Adapun prihal ayat al-Qur’an surah al-Isra’[17]: 1, makna yang tersirat menurut Naser Muhammad ‘Athiyah dari ayat tersebut adalah  bahwa Muhammad s.a.w. telah melihat kekuasaan Allah, Muhammad telah melihat para malaikat-Nya, surga-Nya, neraka-Nya, para nabi-Nya para rasul-Nya, kerajaan agung-Nya, serta kebesaran dan kasih rahmat-Nya.” Hal ini sesuai dengan al-Qur’an,

مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى # لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَا تِ رَبِّهِ الْكُبْرَى


  “Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.  Sesungguhnya Dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”(QS al-Najm [53]: 17-18)

            Dalam kitab Mauû’ah al-Târîkh al-Islâm wa al-Hadhrah al-Islâmiyah, Ahmad sya’laby mengatakan, “Nilai edukatif yang terkandung dalam isra’ dan mi’raj adalah telah dibentangkan kepada Rasulullah kesempatan yang cukup lebar untuk melihat berbagai alam yang sangat besar. Dengan begitu, Rasulullah akan memahami bahwa sebenarnya Makkah adalah sangat kecil, berikut penduduknya serta para penentangnya. Rasulullah pun menjadi lebih paham, apalah arti sebuah Makkah dibandingkan dengan meluasnya jagad raya ini? Demikian apalah arti kekuatan, kekuasaan Sang Pencipta alam, yang telah memperjalankan dirinya dalam isra’ dan mi’raj.

              Lebih lanjut Ahmad Sya’laby mengatakan bahwa nilai edukatif dari perjalanan agung ini adalah sebagai media penyaringan untuk mengetahui siapa sebenarnya pengikut Nabi s.a.w. yang setia dan kokoh imannya, demikian pula siapa yang pura-pura beriman, sedang dalam hati terpendam kemunafikan. Nabi merasa perlu mengetahui masalah ini, karena tugas kenabian setelah hijrah adalah sangat berat, penuh dengan jihad dan peperangan, serta pengorbanan yang tidak saja harta benda, tenaga, namun juga nyawa, demi menegakkan agama Islam.

               Nilai-nilai filosofis berikutnya yang dapat kita ambil adalah oleh-oleh yang di bawa Nabi s.a.w. ketika mi’raj, sebagimana yang dijalaskan oleh hadits yaitu shalat. Shalat adalah satu-satunya perintah Allah yang diterima –tanpa perantara- langsung oleh Nabi. Oleh karena itu shalat menempati posisi yang paling signifikan dalam ajaran Islam. Untuk itulah, Nabi s.a.w mengajarkan kepada umatnya agar meneladaninya dalam bentuk ibadah shalat. Nabi s.a.w bersabda, as-shalâtu mi`râjul mu’minîn, bahwa “shalat itu mi’rajnya kaum beriman.” Sebelum shalat seseorang harus bersuci, tidak sekedar thaharah dengan air atau debu, tetapi lebih kepada upaya untuk takhalli, menyingkirkan hal-hal negatif yang ada di dalam diri kita. Dimulainya shalat diawali dengan takbir mengagungkan DzatNya. Di dalamnya sudah tak ada lagi waktu yang terbuang percuma karena seluruhnya berisi puji-pujian dan doa yang mengalir di sepanjang tarikan dan hembusan nafas kita. Ketika itulah seseorang melakukan kontemplasi, hijrah batin atau tahalli. Menghiasi diri dengan keterpujian asma-Nya, sehingga kebenaran Tuhan termanifestasi di dalam jiwa atau tajalli. Kemudian diakhiri dengan menebarkan salam kepada seluruh makhluk Tuhan semesta alam. Ketika mi’raj itu seorang anak manusia dituntun oleh Tuhannya secara langsung untuk menghadap kehadirat-Nya menuju sidratul muntaha, suatu tempat dimana malaikat Jibril tak sanggup menempuhnya. Maka, dalam al-Qur’an surat al-Najm [53] ayat 5, kata ‘allamahu syadîd al-Quwâ, sebenarnya memiliki arti secara umum bahwa Ia dituntun secara langsung oleh yang Maha Kuat, bukan oleh Jibril.

Namun, Sidrat al-Muntaha bukanlah tempat dimana manusia bisa menjalankan misi hidupnya. Oleh sebab itu, ada proses nuzul atau turun dalam rangka membumikan nilai-nilai Islam ke dalam berbagai tindak sosial (transformasi sosial). Artinya, selain dikerjakan, shalat juga harus ditegakkan secara kontinyu dalam bentuk aksi dan realisasi nyata dalam kehidupan. Dalam bentuk amar ma’ruf nahy munkar. Menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Dan, dengan segenap amal perbuatan nyata sebagai wujud rahmat Tuhan bagi semesta alam. Ketika itulah, puncak dari Sidrat al-Muntaha diraih oleh seorang hamba.

Waryono Abdul Ghafur memberikan jabaran terkait hal ini, dia mengatakan bahwa, “Dalam al-Qur’an terdapat trilogi yang integral, yang pengalaman salah satunya secara terpisah menjadikannya tidak sempurna, yaitu iman, shalat dan zakat. Tiga rangkaian itu harus menjadikan kesatuan. Iman memang bersifat pribadi, namun ia harus terbukti secara sosial. Ini artinya, tauhid sebagai inti keimanan harus mewujud nyata dalam kehidupan dengan prilaku tidak diskriminatif  dan subordinatif (tauhid), solidaritas sosial yang tinggi (zakat) dan anti terhadap kekerasaan (salam sebagai penutup shalat). Itulah setidaknya yang dapat kita ambil ‘ibrah atau pelajaran dari peristiwa agung ini.
Share this article :

Post a Comment

Popular post

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. SD Islam Kauman - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger